Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.
(QS. Al Hujurat : 6)
Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menjelaskan: "Allah Subhanahu wa
Ta'ala memerintahkan (orang-orang yang beriman) untuk memeriksa berita yang
datang dari orang fasik dengan teliti, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati
dalam menerimanya dan jangan menerimanya begitu saja, yang akibatnya akan
membalikkan kenyataan. Orang yang menerima begitu saja berita darinya, berarti
sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan Allah Subhanahu wa ta'ala telah
melarang kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang yang rusak.
Berangkat dari pengertian inilah ada sejumlah ulama yang melarang kita menerima
berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah
orang-orang yang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan
alasan bahwa kita hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang
fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti
kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya."
Sedangkan Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an menjelaskan,
"Allah memfokuskan orang fasik sebab dia dicurigai sebagai sumber
kebohongan dan agar keraguan tidak menyebar di kalangan kaum muslimin karena
berita yang disebarkan oleh setiap individunya, lalu ia menodai informasi. Pada
prinsipnya, hendaklah setiap individu kaum muslimin menjadi sumber berita yang
terpercaya dan hendaknya berita itu benar serta dapat dapat dijadikan pegangan.
Adapun orang fasik, maka dia menjadi sumber keraguan sehingga hal ini menjadi
ketetapan."
Menurut para mufassir, asbabun nuzul ayat di atas berkenaan dengan Al walid bin
Uqbah yang diutus oleh Rasulullah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Al
Musthaliq. Al-Walid menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka enggan
membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia tidak pernah sampai ke
perkampungan Bani Al Mushtaliq tersebut. Dilapori akan adanya pemberontakan
itu, Rasulullah murka. Tetapi beliau tidak langsung mengambil tindakan terhadap
Bani Al Musthaliq, melainkan beliau mengutus Khalid untuk mengklarifikasi
kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini yang mengingatkan bahaya berita palsu
yang coba disebarkan oleh orang fasik. Berita palsu itu hampir saja
mengakibatkan permusuhan antar sesama umat Islam saat itu.
Jika di zaman Rasulullah saja bisa terjadi hal seperti itu, bagaimana dengan
zaman sekarang? Di zaman Rasulullah kejujuran sangat dominan mewarnai, masih
ada pemberitaan palsu, apalagi di zaman sekarang yang banyak kedustaan
bertebaran. Berita dan informasi yang tidak benar bisa berasal dari mana saja,
baik individu maupun lembaga. Bahkan, media raksasa yang mengklaim sebagai
lembaga profesional sekalipun.
Di bulan Februari ini saja, sebuah televisi nasional diketahui menyiarkan
pemberitaan yang telah diplintir sehingga orang yang mendengar dan menyaksikannya
menjadi tersesatkan. Pada 14 Februari lalu, dalam sebuah acara bertajuk
"Berdarah Yahudi, Bernafas Indonesia," televisi itu menggiring opini
masyarakat ke arah kesimpulan bahwa ormas yang menentang penjajahan Zionis atas
Palestina sebagai organisasi yang intoleran dan anti semit. Maka organisasi
Islam yang merasa dicatut namanya itupun melaporkan televisi tersebut ke Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI). Satu berita digugat belum selesai, muncul berita
lain yang juga disinyalir sengaja diplintir. Televisi yang sama kemudian
diprotes oleh lembaga yang datanya diplintir tersebut.
Sebelumnya, pada September 2012 lalu, televisi itu pula yang membuat
pemberitaan, mengarah pada kesimpulan bahwa Rohis di sekolah-sekolah menengah
adalah tempat rekrutmen teroris. Setelah diprotes oleh orams-ormas Islam,
akhirnya ia minta maaf.
Di era informasi seperti saat ini, tidak sedikit umat Islam yang terpancing
dengan dengan informasi yang ada, tanpa melakukan tabayun. Padahal tabayun
itulah yang dituntunkan Islam melalui Surat Al Hujurat ayat 6 tersebut, jika
ada berita atau informasi dari orang-orang yang fasik. Jika Ali bin Abi Thalib
pernah menyampaikan
أُنْظُرْ مَا قَالَ وَ لَا تَنْظُرْ مَنْ قَالَ
Lihatlah
apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara
Sesungguhnya kalimat itu berlaku dalam hal nasehat, yang sudah pasti benar.
Maka kebenaran, dari manapun ia datang, ia perlu untuk diambil. Apakah dari
seorang anak kecil, orangtua, miskin ataupun kaya. Maqalah itu bukan untuk
urusan berita dari orang yang tidak dikenal kejujurannya.
Maka di dalam ilmu hadits, suatu hadits diterima jika para perawinya
terpercaya. Sebaliknya, jika perawinya pendusta atau fasik, maka hadits itu
bisa gugur hingga derajat maudhu' (palsu).
Demikian pula dari sebuah informasi atau berita yang belum jelas kebenarannya.
As-Sa’di membagikan sumber (media) berita kepada tiga klasifikasi:
Pertama, berita dari seorang yang jujur yang secara hukum harus diterima.
Kedua, berita dari seorang pendusta yang harus ditolak.
Ketiga, berita dari seorang yang fasik yang membutuhkan klarifikasi, cek dan
ricek akan kebenarannya.
Dengan demikian seorang muslim tidak boleh asal telan berita atau informasi,
terlebih langsung menyebarluaskannya. Di zaman Rasulullah pernah terjadi,
sahabat yang akhirnya menyesal dan bertaubat, karena ia pernah terlibat dalam
upaya menyebarkan kabar dusta (haditsul ifki). Saat itu, Aisyah radhiyallahu
'anha diisukan berselingkuh dengan sahabat Sofwan, setelah Aisyah tertinggal
rombongan perang akibat mencari kalungnya yang hilang. Fitnah itu dihembuskan
dengan cepat oleh gegembong munafik Abdullah bin Ubay, dan ternyata, ada
beberapa muslim yang termakan fitnah itu lalu turut menyebarkannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman mengenai peristiwa ini:
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا
لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ
الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Sesungguhnya
orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah
baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar
dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (QS. An-Nur : 11)
Di
zaman yang dipenuhi dengan jejaring sosial ini, kadang kita dapati sebagian
muslim begitu saja menyebarkan, berbagi/sharing semua informasi yang
diterimanya, tanpa peduli apakah informasi itu benar atau salah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah
seseorang dikatakan sebagai pendusta jika ia mengatakan segala yang ia dengar (HR. Muslim)
Demikianlah secara singkat tuntunan Islam dalam menyikapi informasi, khususnya
informasi baru. Jika informasi itu datang dari mukmin yang jujur, maka ia
diterima. Namun jika informasi itu datang dari orang/lembaga fasik, ia tidak
boleh langsung diterima begitu saja, melainkan perlu tabayun. Mengecek
kebenaran informasi tersebut. Tabayun, juga menjadikan kita tidak begitu saja
langsung menyebarkan informasi/berita yang belum jelas kebenarannya. Semoga
Allah menjadikan kita sebagai orang yang jujur, dan mencatat kita bersama-sama
orang-orang shiddiqin.
Source : http://www.bersamadakwah.com/2013/02/tuntunan-islam-dalam-menyikapi-informasi.html